11.7.16

Plus Minus Menitipkan Anak di Daycare (2)

First post in 2016! 

*bersih-bersih sarang laba-laba*



Anyway, saya pernah menulis plus minus menitipkan anak di daycare di sini. Tapi, waktu itu Rais masih bayi yang cuma bisa tidur, minum ASI, pipis, dan pup.

Setelah dia masuk usia toddler, kerasa banget keputusan saya dan Agam 'menyekolahkan' dia di daycare sejak lima bulan adalah keputusan yang tepat! Kenapa? Selain poin-poin yang sudah saya tulis di tulisan pertama, ini poin-poin tambahannya:

PLUS

1. Bisa belajar banyak hal
Anak usia toddler itu lagi aktif-aktifnya dan rasa ingin tahunya lagi tinggi-tingginya. Saya nggak yakin baby sitter di rumah mampu mengakomodasi itu. Di daycare, Rais punya jadwal 'belajar' setiap hari,  mulai dari senam pagi, membaca, mewarnai, mengenal huruf, sampai main di playground. Ada kurikulumnya. Ada staf daycare yang sarjana pendidikan. Ada rapotnya.

2. Banyak aktivitas
Selain jadwal 'belajar' yang sifatnya rutin setiap hari, daycare juga punya banyak aktivitas. Di usianya yang belum dua tahun, Rais sudah pernah berenang, manasik haji, pawai, lomba tujuh belasan, bahkan tampil di panggung!

3. Bisa main sama teman sebaya
Sebenarnya saya sudah menulis poin in, tapi tentu saja kemampuan sosialisasi anak lima bulan dan dua tahun beda. Sekarang Rais sudah bisa komunikasi sama temannya, misalnya menyusun balok bareng atau mendorong mobil-mobilan bergantian, walaupun ngomongnya sama-sama belum lancar. Rais bahkan sudah bisa menghibur anak daycare yang masih bayi. :))

4. Pesta ulang tahun
Karena banyak aktivitas dan banyak teman, anak bisa merayakan ulang tahun di daycare. Nggak perlu pusing lagi memikirkan mau merayakan ulang tahun di mana dan mengundang siapa. Nggak perlu bayar sewa tempat #emakirit. Rais merayakan ulang tahunnya yang pertama di daycare. Acaranya sederhana banget kok, cuma potong kue dan nyanyi-nyanyi.

5. Kenal agama sejak dini
Kebetulan, daycarenya Rais basisnya agama. Setiap hari ada jadwal sholat jamaah dan mengaji.

6. Ada dokter dan psikolog
Daycarenya Rais kerjasama sama posyandu di apartemen. Setiap bulan anak-anak rutin ke sana untuk ditimbang, diberi vitamin, dan diberi imunisasi (tentunya cuma imunisasi dasar ya). Kemarin baru saja ada psikolog yang datang ke daycare dan orangtua bisa konsultasi. Katanya sih nanti akan ada dokter yang datang rutin ke daycare juga. Gratisss.

7. Ada catering
Selain itu ada catering juga! Cateringnya bisa pesan bulanan, mingguan, atau harian. Saya dan Agam sih nggak keberatan masak untuk Rais, jadi kami nggak pesan catering bulanan. Tapi catering harian itu berguna banget kalau kami harus berangkat kerja pagi sekali dan nggak sempat masak.

8. Makan lebih gampang
Saya pernah tanya ke pengasuh-pengasuh daycare, siapa anak yang makannya paling lahap? Semuanya kompak jawab Rais. :D Padahal kalau di rumah, kadang cuma mau makan nasi, kadang cuma mau makan buah, kadang mau makan nasi pakai buah. -____- Mungkin karena kalau di daycare dia lihat teman-temannya makan juga, jadi kompetitif. Makanya, walaupun Rais lagi sakit, kadang saya tetap antar dia ke daycare supaya mau makan.

9. Orangtua tambah teman
Salah satu grup whatsapp saya yang paling aktif sekarang adalah grup whatsapp ibu-ibu daycare. :)) Topiknya mulai dari gosip seputar daycare sampai isu vaksin palsu yang lagi hot. Karena daycarenya Rais ada di kompleks apartemen dan hampir semua temannya tinggal di apartemen yang sama, kalau ke mana-mana pasti ketemu temannya Rais.

10. Ada tingkat selanjutnya
Yayasan pemilik daycarenya Rais punya sekolah mulai dari tingkat daycare sampai SD. Saya dan Agam memang berencana menyekolahkan Rais sampai TK di yayasan yang sama (kecuali kalau kami pindah rumah). Semoga Rais nggak terlalu berat adaptasinya kalau naik tingkat. Dan tentunya ada diskon buat murid yang sekolah dari tingkat daycare yuhuu!

MINUS

1. Resiko anak ketularan sakit lebih besar
Poin ini sebetulnya juga sudah saya tulis, tapi saya ulangi lagi karena penting. Sampai sekarang Rais masih sering ketularan batuk pilek. :(( Bahkan pernah ketularan sakit mata dan flu Singapura. Kalau dia sakit pas saya juga sakit maka tamatlah sudah. Waktu dia kena flu Singapura itu, daycarenya sampai diliburkan seminggu karena banyak anak yang kena, padahal di minggu yang sama saya kena gejala typhus. Duh...

2. Drama oh drama
Kata siapa daycare = no drama? Sebelum Lebaran, daycarenya Rais sempat pecah manajemen. Yang akhirnya Rais (dan sebagian besar temannya) ikut manajemen yang baru dan pindah ke gedung yang baru. Lumayan jadi beban pikiran lho itu. Saya dan Agam sampai sempat beberapa kali izin ke kerja karena harus ikut rapat orangtua.

3. Anak 'berantem' sama teman
Rais sudah pernah digigit tangannya sampai memar. Tapi dia juga pernah getok kepala temannya pakai mobil-mobilan sampai lecet dan dorong temannya sampai bawah matanya biru. So... I guess it's fair enough? :)) Biasanya sih karena rebutan mainan. Tapi yang namanya anak-anak ya habis itu main bareng lagi, ketawa bareng lagi like nothing happened before.

4. Anak kenal makanan nggak sehat
Memang sih Rais lebih gampang makan di daycare, tapi di sisi lain dia jadi kenal makanan yang nggak sehat juga. Kalau saya bawakan dia bekal biskuit homemade organik, sementara temannya bawa bekal Pocky atau Hello Panda, bisa tebak kan dia pilih yang mana? :))



So... plus 10 versus minus 4. Daycare FTW!

2.11.15

Tentang Pertemanan Sebelum dan Sesudah Jadi Ibu



Mungkin nggak sih, orang yang sudah menikah dan punya anak kesepian? Jawabannya sangat mungkin. Saya mengetik ini karena tiba-tiba kesepian tengah malam, padahal di samping saya ada Agam dan Rais yang lagi ngorok. Zzz... Saking kesepiannya sampai tiba-tiba pingin ngeblog lagi padahal blog ini sudah lama banget nggak keurus. Emang nggak bakat jadi selebblog nih. 



Ya, saya seorang istri dan ibu, dan saya sangat mencintai peran itu. Tapi saya juga seorang makhluk sosial yang perlu bersosialisasi.

Di antara sahabat-sahabat saya sejak kuliah, saya yang kelima menikah. Sekarang di antara kami bersepuluh sudah sembilan orang yang menikah dan delapan orang yang punya anak.

Kami tentu saja masih keep in touch, online maupun offline. Bedanya, topik di group whatsapp bukan lagi soal siapa yang baru jadian atau baru putus, tapi merek breastpump yang bagus dan tips menghadapi anak tantrum. Bedanya, agenda ketemuan bukan lagi sleepover sambil curhat semalaman atau ngopi cantik setelah pulang kerja, tapi arisan di akhir pekan di cafe yang ada playgroundnya. Ah... I don't know what I'd be without you, girls... 

Tapi di circle saya yang lain, yang isinya teman-teman seprofesi yaitu wartawan, menikah di usia kepala 2 lalu langsung punya anak sepertinya bukan pilihan populer.

Maka saya nggak bisa menghindar dari rasa kesepian kalau (lagi-lagi) mesti menolak ajakan nongkrong bareng habis liputan, atau kalau lihat foto mereka backpacking rame-rame di medsos. You know, the feeling of being so left out. Makanya saya sekarang menonaktifkan Twitter dan Path. Instagram lebih sering saya pakai buat belanja online (belanja baju dan perlengkapan bayi lah, apa lagi?). Facecook sih memang sudah lama saya nonaktifkan. Buat apa punya medsos, toh jarang ada mention dan ngetag saya. 

Nggak ada yang salah. Teman-teman saya nggak salah. People just change.

Dulu, saya menganggap menikah dan punya anak = nggak asyik. Nggak bebas nongkrong bareng teman-teman lagi. Nggak bebas kelayapan dulu setelah pulang kerja. Siapa sangka, bertahun-tahun kemudian saya dengan senang hati lebih memilih untuk pulang kerja cepat-cepat demi quality time sama Agam dan Rais.

Bukannya saya nggak mau nongkrong bareng teman-teman lagi ya, tapi waktunya susah ciiin... Apalagi buat saya yang nggak punya asisten rumah tangga dan baby sitter. Jangankan nongkrong, kerja aja penuh perhitungan harus selesai jam berapa, harus pulang jam berapa supaya nggak kejebak macet, harus sampai apartemen jam berapa supaya bisa mompa ASI dulu. Bisa sih nongkrong dulu habis kerja, tapi rencananya harus dari jauh-jauh hari biar saya bisa bagi tugas jemput Rais sama Agam, atau titip Rais ke pengasuh daycarenya.

Nongkrong pas weekend? Boleh... Tapi jamnya harus pas sama jam tidur siangnya Rais ya. Soalnya dia cranky kalau ngantuk. Lalu tempatnya juga harus baby friendly. Cafe yang terlalu berisik dan banyak asap rokok is big no! 

.

.
.

Lalu teman-teman jadi malas ngajak saya karena banyak syaratnya. :))



26.3.15

Plus Minus Menitipkan Anak di Daycare (1)

Bulan ini genap dua bulan saya nggak pakai baby sitter (BS) lagi. Berarti, bulan ini genap dua bulan juga Rais 'sekolah' di daycare.


Hari pertama Rais di daycare

Saya ingat sekali, Rais masuk daycare di usia lima bulan kurang satu hari. Gimana rasanya meninggalkan anak di daycare? Awalnya sih, saya nangis bombay semalaman. Saya bahkan bela-belain izin kerja dari rumah selama seminggu pertama biar bisa menengok Rais di daycare setiap tiga jam sekali.

Tapi sekarang saya sudah terbiasa. Apalagi saya sudah lumayan akrab sama pemilik dan pengasuh-pengasuh di daycare. Kadang mereka mengirim foto Rais kalau saya lagi kerja.

Sampai sekarang daycare masih jadi pilihan terbaik buat saya dan Agam. Kenapa? Coba kita bahas satu per satu plus minusnya...

PLUS
1. Lebih aman
Buat saya dan Agam yang tinggal di apartemen dan jauh dari keluarga, menitipkan anak di daycare jelas lebih aman ketimbang BS. Siapa yang tahu apa yang terjadi kalau anak cuma berdua sama BS di dalam apartemen? (Kecuali kalau pasang CCTV dan baby monitor ya. Tapi masa sih saya harus memantau alat terus selama kerja). Sedangkan kalau di daycare, pengasuhnya kan banyak. Kemungkinan pengasuh bakal 'macam-macam' pun lebih minim. Apalagi pemilik daycarenya Rais juga selalu ada di tempat dan selalu turun tangan momong bayi-bayi.

2. Anak lebih mandiri 
Waktu masih ada BS, Rais tuh... hmmm... gimana ya... (mau bilang rewel tapi nggak tega). Baru beberapa hari di daycare, eh dia sudah bisa anteng main dan tidur sendiri. Soalnya, anak di daycare memang dilatih untuk mandiri dengan cara nggak terus-terusan digendong. 

3. Anak gampang bersosialisasi
Rais termasuk bayi yang gampang bersosialisasi karena terbiasa ketemu puluhan orang setiap harinya. Mulai dari teman-temannya, orangtua yang antar jemput teman-temannya, pemilik daycare, pengasuh-pengasuh daycare, sampai cleaning service dan security daycare. Dampaknya, dia santai aja kalau ketemu orang baru, bahkan sering senyum duluan.

4. Orangtua lebih dekat sama anak
Nggak rela kan kalau anak lebih dekat sama BS? Kalau anak di daycare, itu nggak akan terjadi. Soalnya anak cuma di daycare beberapa jam dalam sehari. Paginya, malamnya, dan selama weekend sama orangtuanya lagi. Gimana nggak dekat kalau pipis aja sambil mangku anak dan beres-beres rumah aja sambil gendong anak pakai baby carrier. :)) Sama pengasuh di daycare pun nggak akan terlalu ketergantungan karena pengasuhnya kan lebih dari satu, nggak yang itu-itu aja.

5. No drama BS
Percayalah, punya BS tuh berasa punya satu anak lagi selain anak sendiri. Harus menyediakan makan tiga kali sehari, harus memastikan kebutuhan pribadinya seperti toiletries tersedia, dan harus menanggung kalau dia sakit. Bukan cuma masalah uangnya, tapi kadang malas juga kan pas buru-buru mau berangkat kerja, eh harus beli sarapan dulu buat BS. Atau pas saya sakit, eh BS juga sakit dan saya harus mencarikan obat buat dia.

6. Ada privasi
Saya dan Agam tinggal di apartemen mungil, tentu risih kalau serumah sama orang yang bukan keluarga. Jadi nggak bisa pakai underwear doang dong kalau di rumah. *eh

7. Pengasuh lebih profesional
Menurut penilaian saya, pengasuh daycare Rais lebih profesional dan lebih sopan daripada kebanyakan BS yang pernah saya temui. Mungkin karena pemilik daycare selalu ada di tempat dan memantau pekerjaan mereka, beda sama pemilik yayasan yang biasanya lepas tangan kalau BS sudah tersalurkan. Pengasuh daycare Rais juga selalu pakai seragam rapih seperti ibu guru di sekolah (anak-anak daycare yang sudah lebih besar dan sudah bisa ngomong memang memanggil pengasuh dengan sebutan "bu guru, bukan "sus" atau "mbak"). Kalau ada masalah sama pengasuh (alhamdulillah belum pernah terjadi), saya bisa lapor ke pemilik daycare. Dulu, waktu masih punya BS, saya cenderung tutup mata aja kalau ada masalah karena takut dia nggak betah.

MINUS
1. Resiko anak ketularan sakit lebih besar
Belum ada seminggu Rais di daycare, dia langsung kena batuk pilek. Besoknya saya bawa ke dokter, sembuh, lalu saya masukkan daycare lagi, eh kena lagi. Dalam dua bulan ini dia sudah tiga-empat kali kena batuk pilek, padahal sebelumnya nggak pernah sakit apapun. T___T

2. Waktu untuk kerja nggak fleksibel
Buat saya dan Agam yang jam kerjanya nggak office hour, jemput Rais di daycare sebelum jam 6 sore itu butuh perjuangan! Banget! Apalagi macetnya Jakarta amit-amit ya. Belum lagi kalau dapat tugas dinas ke luar kota. Solusinya, sejak awal saya sudah menceritakan kondisi saya ke atasan, biar saya nggak dapat tugas tambahan mendadak di atas jam 6 sore dan nggak dapat tugas dinas ke luar kota mendadak. Alhamdulillah atasan saya mau mengerti. Tapi sebagian rekan kerja saya (yang belum menikah dan punya anak) yang nggak mengerti. Siap-siap aja deh jadi bahan gosip di belakang.

3. Do it yourself
Kalau memutuskan untuk nggak pakai BS, berarti harus siap untuk mengerjakan semuanya sendiri (in my case, berdua sama Agam). Bukan hanya yang bersentuhan langsung sama anak seperti memandikan, menyuapi, dan meninabobokan, tapi juga printilannya seperti memasak MPASI, mencuci dan mensterilkan botolnya, dan mencuci bajunya yang kena pup. Tapi, karena anak sendiri, enjoy aja tuh walaupun harus bangun jam 4 subuh setiap hari buat masak MPASI.

4. Harus kompromi sama daycare
Soalnya daycare punya jadwal, peraturan, dan standar sendiri. Contohnya, kalau saya mengantarkan Rais kesiangan, maka dia akan makan sendirian karena jadwal makan teman-temannya sudah lewat. Contoh lainnya, saya terbiasa memakaikan Rais bedak bayi setiap habis mandi, tapi daycare malarang pemakaian bedak. Standar kebersihan dan kerapihan daycare juga sedikit di bawah standar saya. *control freak detected* Tapi selama daycare masih bisa mengakomodasi keinginan orangtua yang prinsipil, misalnya mau ASI eksklusif, saya berusaha kompromi aja.

5. Gonta-ganti pengasuh
Walaupun anak jadi nggak ketergantungan sama satu pengasuh, tapi saya harus membriefing pengasuh yang beda hampir setiap pagi. Mulai dari menjelaskan menu MPASI Rais hari ini sampai mengingatkan untuk memakaikan Rais selimut karena dia alergi dingin.

So... plus 7 vs minus 5. Daycare FTW!

Oh ya, saya sengaja nggak memasukkan poin soal biaya, karena menurut saya itu sangat relatif. BS berpengalaman dibanding daycare yang biasa-biasa aja jelas mahalan BS. Daycare di daerah perkantoran di segitiga emas Jakarta dibanding BS yang masih ABG jelas mahalan daycare.

Sebagai ilustrasi, waktu saya ambil BS berpengalaman dari yayasan di Bandung bulan Agustus 2014, gaji pokoknya Rp 2 juta per bulan. Dengan gaji segitu, dia dapat jatah libur dua hari per bulan, yang mana kalau nggak diambil dihitung lembur dengan uang lembur Rp 100.000 per hari. Jadi take home paynya Rp 2,2 juta per bulan.

Waktu dibawa ke Jakarta bulan November 2014, BS minta naik gaji pokok jadi Rp 3 juta per bulan dengan hitung-hitungan lembur yang sama. Jadi take home paynya Rp 3,2 juta per bulan.

Karena saya dan Agam risih kalau BS menginap di apartemen, kami sewakan kos dekat apartemen yang tarifnya Rp 550.000 per bulan. Sebenarnya kosnya masih terjangkau jalan kaki, tapi dia maunya naik angkot. Okelah saya kasih ongkos PP Rp 4.000 per hari.

Itu belum termasuk biaya makan tiga kali per hari, snack, toiletries, dan biaya dokter atau obat kalau dia sakit. Masih ada biaya tambahan yang harus keluar kalau mau BS betah, misalnya buat mengajak jalan-jalan atau membelikan baju sesekali.

Nah, waktu Rais masuk daycare bulan Januari 2015, uang pangkalnya Rp 1,5 juta dan uang bulanannya Rp 2 juta per bulan. Biaya overtime kalau telat jemput Rp 10.000 per jam.

Karena lokasi daycare masih satu kompleks apartemen cuma beda tower, saya nggak usah mengeluarkan biaya transportasi. Pengeluaran tambahan paling-paling kalau saya harus pulang naik ojek/taksi supaya bisa jemput Rais on time.

Terus, kalau belanja perlengkapan makan, perlengkapan tidur, dan toiletries harus dobel. Yang satu buat di rumah, yang satu lagi buat di daycare.


Rais dan teman-teman daycarenya

12.2.15

It's Not Easy, But It's Always Worth It

Waktu hamil, saya pede banget bisa melahirkan normal. Tapi saya nggak pede bisa menyusui. Nggak tau kenapa. Mungkin karena sering dengar cerita Mama yang melahirkan saya dengan lancar, tapi cuma bisa menyusui saya sampai umur tiga bulan. Jadi, mungkin, yang ada di alam bawah sadar saya adalah: melahirkan itu gampang, menyusui itu susah.

Saya tetap rajin sih makan daun katuk, massage payudara, dan nonton video menyusui di YouTube sejak hamil. Tapi saya nggak beli breastump. Soalnya, harga breastpump kan nggak murah, sayang dong kalau sudah terlanjur beli breastpump tapi ASI saya nggak keluar. Perlengkapan menyusui lain seperti baju menyusui, bra menyusui, botol, dll pun cuma beli seadanya karena alasan yang sama.  

 ...lalu saya kena tulah.

Tau kan, teori The Secret yang bilang, "When you want something, all the universe conspires in helping you to achieve it"? Nah, ternyata teori itu juga berlaku kebalikannya. It's all in the mindset. Proses saya melahirkan (alhamdulillah) lancar, tapi perjalanan saya menyusui justru panjaaang dan berliku.

Rais baru lahir
Seperti yang sudah saya ceritakan di sini, proses IMD nggak terlalu berhasil. Rais sempat ditaruh di atas dada saya selama beberapa menit, tapi belum sampai ke puting, soalnya dia harus segera diambil untuk diobservasi.

Malamnya, Rais dibawa ke kamar untuk rooming in. Saya mulai mencoba menyusui dia. Hmmm ASI saya kok belum keluar ya...

Tapi saya masih santai. Soalnya, Rais tidur pulas semalaman. Obgyn saya (dr. Yena M Yuzar) dan dokter anaknya Rais (dr. Frecilia Regina) yang visite ke kamar pun bilang, kalau sekarang belum keluar, mungkin ASI saya baru keluar besok. Saya pun ikut tidur pulas.

Rais satu hari
Here comes trouble! Rais sudah melek. Dan haus. 

Saya mencoba menyusui dia lagi. Ternyata, menyusui itu... susah. Percayalah, bayi yang disusui sambil anteng dan menatap ibunya dengan mesra itu cuma ada di iklan TV! Rais disusui sambil nangis jerit-jerit, tangannya mukul-mukul, kakinya nendang-nendang, sarung tangan dan kaos kakinya copot semua. -___-

ASI saya masih belum keluar juga. Sudah nggak terhitung berapa kali dokter dan suster visite ke kamar, massage payudara saya, tapi nggak ada hasilnya.
Malam itu saya (plus Agam dan Mama yang menginap di RS) habiskan dengan bergadang karena Rais nangis semalaman.

Rais dua hari
Hari ini jadwal saya pulang. Tapi manaaa ini ASI saya kok masih belum keluar juga. 

Menurut teori, newborn bisa bertahan 3x24 jam tanpa asupan apapun. Tapi ibu mana sih yang tega dengar anak nangis terus? Apalagi Rais kalau nangis heboh banget. Digendong, ditimang-timang, tetap nangis. Mulutnya mengecap-ngecap. Jelas dia haus.

Kami mulai kehabisan energi. Akhirnya, Mama ambil keputusan, "Kasih sufor aja."

Suster RSIA Limijati yang terkenal pro ASI berkali-kali minta konfirmasi. Saya diminta menandatangani surat pernyataan. Akhirnya Rais dikasih sufor 15 ml. Habis itu dia (akhirnya) tidur pulas. Di sudut bibirnya ada sisa-sisa sufor.

Saya langsung kena serangan baby blues pertama. Diam-diam saya nangis di kamar mandi. Ibu macam apa saya ini nggak bisa ngasih ASI buat anaknya yang haus?

Malamnya, sebelum pulang ke rumah, kami mampir ke supermarket dulu beli sekaleng sufor buat jaga-jaga.

Rais empat hari
ASI saya masih belum keluar juga! Jadi, selama dua hari Rais di rumah, dia cuma minum sufor.

Padahal saya sudah makan daun katuk, bayam, pepaya, susu kedelai, you name it. Sudah minum obat pelancar ASI yang diresepkan dokter juga. Sudah manggil paraji buat massage payudara juga.

Tapi, pagi ini ada yang beda. Saya terbangun dengan kondisi badan meriang, dan payudara sakiiit banget kayak mau meledak. 

Akhirnya saya bawa Rais konsultasi ke dr. Frecil lagi. Dia bilang, itu tandanya ASI saya sudah mau keluar. Dia lantas memelintir payudara saya, dan... keluar! Alhamdulillah! Senang banget rasanya lihat cairan putih kental itu! Akhirnya saya bisa ngasih ASI untuk Rais! *buang kaleng sufor*

Rais dua minggu
Problem solved? Tunggu dulu...

Menurut teori, newborn menyusu setiap dua-tiga jam sekali. Nah, Rais bisa nangis minta disusui setiap jam. Sekalinya menyusu paling cuma lima menit. Terus nggak mau lagi. Terus sejam kemudian nangis minta disusui lagi. Ulangi siklus ini seharian. Di sela-sela siklus ini saya biasanya ikut nangis karena kombinasi baby blues, sakit bekas jahitan, capek, dan ngantuk. *oles concealer di mata panda*

Tapi, saya lebih concern soal berat badan Rais yang nggak balik-balik. Teorinya, berat badan newborn memang akan menyusut setelah lahir, tapi akan balik lagi ke berat badan lahir setelah dua minggu.

Nah, Rais lahir dengan berat 3,76 kg (yes, my baby is big). Pulang dari rumah sakit beratnya 3,5 kg. Tapi setelah dua minggu beratnya stuck di angka 3,5 kg.

Akhirnya saya bawa Rais ke dr. Frecil lagi, sekalian imunisasi. Menurut dr. Frecil, masalahnya adalah, produksi ASI saya sedikit dan latch on Rais nggak pas. Karena ASI saya sedikit, Rais jadi 'malas' latch on. Karena latch onnnya nggak pas, payudara kurang mendapat rangsangan buat memproduksi ASI, jadi ASI yang keluar sedikit. Karena ASI yang keluar sedikit, Rais jadi 'malas' latch on. Begitulah seperti lingkaran setan.

Akhirnya dr. Frecil mengajari saya pakai semacam sedotan setiap menyusui. Caranya, ujung sedotan yang satu ditempel pake plester di dekat puting, ujung sedotan yang satu lagi dicelupkan di botol sufor. Dengan begitu, sekali sedot, Rais dapat ASI sekaligus sufor, dia jadi semangat latch on dan merangsang payudara buat memproduksi ASI yang lebih banyak lagi. 

Cara ini terbukti berhasil. Rais mulai latch on dengan pas. Pelan-pelan, berat badan Rais merangkak naik. *buang sufor untuk selamanya*

***

Sekarang Rais sudah hampir enam bulan. ASI saya tetap nggak banyak walaupun saya sudah berusaha makan sayur dan buah setiap hari, minum air putih yang banyak, dan mengonsumsi segala macam ASI booster. Jumlah ASIP di freezer nggak pernah lebih dari 20 botol. Makanya saya nggak pernah posting foto freezer penuh ASIP seperti ibu-ibu lain. Waktu balik dari Bandung ke Jakarta, ASIP saya cuma dua cooler bag Gabag ukuran sedang.

Tapi yang penting Rais hampir lulus S1 ASI eksklusif, berat badannya selalu naik bahkan hampir menyentuh batas atas berat badan normal. Daya tahan tubuhnya bagus dan nggak pernah sakit. Yay! 

Untungnya, jam dan lokasi kerja saya sangat fleksibel. Jadi kalau stok ASIP menipis, saya bisa kerja di apartemen dan bisa menyusui Rais langsung. 

Tujuan saya menulis ini, selain sebagai reminder untuk diri sendiri akan masa-masa sulit itu, juga untuk sharing dengan busui lain. Bahwa perjuangan setiap ibu untuk menyusui bayinya itu beda-beda. Ada yang sebelum melahirkan dan nggak usah mengonsumsi ASI booster pun ASI-nya sudah menetes-netes saking kepenuhan. Tapi ada juga yang kayak saya. Just hang on there. :')

Dear mothers who have a hard time breastfeeding, hang on there. Breastfeeding is not easy, but it's always worth it. 

12.1.15

Perlengkapan Bayi Yang Nggak Usah Dibeli

Tadinya pingin nulis perlengkapan bayi yang harus dibeli, tapi kayaknya tulisan serupa sudah banyak di mana-mana. Karena saya anti mainstream *halah* mending saya nulis perlengkapan bayi yang nggak usah dibeli!

Ngaku aja deh, salah satu hal paling menyenangkan waktu hamil adalah belanja perlengkapan bayi. Apalagi perlengkapan bayi zaman sekarang lucu-lucu ya. Siapa yang tahan godaan sih. Hihihi...

Tapi ternyata nggak semua perlengkapan bayi yang dijual di toko itu harus dibeli lho. Berdasarkan pengalaman saya, ada beberapa perlengkapan yang sudah terlanjur dibeli tapi nggak terpakai. 

(Disclaimer: List ini disusun berdasarkan pengalaman saya sendiri ya. Makanya, yang buat saya nggak penting, buat orang lain bisa jadi penting. Dan list ini hanya buat newborn. Buat bayi yang sudah makan dan jalan lain lagi ceritanya.)

1. Box bayi dan meja ganti popok
Kalau ini sih karena nggak ada uang tempat di apartemen nan mungil. Sejak awal saya memang pingin co-sleeping. Asyik lho tidur kelonan bertiga, sebelum tidur bisa peluk-peluk dan cium-cium Rais dulu. Kalau dia haus tengah malam, tinggal buka kancing piyama deh. Nggak perlu jalan ke box bayi buat menyusui. Co-sleeping beresiko memicu SIDS? Insya Allah enggak ya selama orangtuanya tidurnya nggak lasak dan di kasur nggak terlalu banyak bantal guling. Ganti popok? Duh... itu kan bisa di mana aja nggak perlu meja khusus.

2. Popok kain
Gara-gara parno Rais kena diaper rash, sebelum dia lahir, saya sudah nyetok popok kain dua lusin. Tapi ternyata suster di rumah sakit malah memakaikan pospak. Dokter pun ngasih lampu hijau untuk pakai pospak. Memang sih, popok kain lebih efektif buat mantau bayi cukup minum ASI atau nggak. Tapi pospak juga bisa kok asal sering diganti. Lagipula, setelah melahirkan saya langsung repot sama masalah menyusui. Mana sanggup kalau harus ganti (plus nyuci dan jemur!) popok kain setiap Rais pipis. Pospak to the rescue!

3. Bedong instan
Rais cuma mau dibedong sampai umur seminggu. Untung saya nggak tergoda beli bedong instan. Lebih baik beli bedong yang berupa kain biasa aja. Setelah bayi nggak mau dibedong lagi kan masih bisa dipakai sebagai selimut, alas tidur, alas stroller, dll.

4. Gurita
Dokter nggak merekomendasikan pakai gurita. Untung saya nggak tergoda beli gurita juga.

5. Sepatu newborn
Sampai sekarang Rais nggak pernah saya pakaikan sepatu lagi karena sering copot dan jatuh. Apalagi kalau mau ganti popok. Hih, ribet! Mending beli kaos kaki yang lucu-lucu deh. Toh dia memang belum butuh sepatu karena belum bisa jalan.

6. Bantal menyusui
Ini penting nggak penting sih, soalnya bantal apapun bisa dijadikan alas buat menyusui, walaupun bantal khusus menyusui jelas lebih nyaman.

7. Breast pad
ASI saya nggak sebanyak itu sampai butuh breast pad :((. Kadang sampai merembes ke baju juga sih, terutama kalau malam. Tapi kalau pakai breast pad artinya kalau mau menyusui tengah malam harus buka breast pad dulu. Ribet.

8. Baju newborn (dalam jumlah yang banyak)
FYI, ukuran baju bayi biasanya 0-3 bulan, 3-6 bulan, 6-9 bulan, 9-12 bulan, dst. Walaupun ada juga yang 0-6 bulan, 6-12 bulan, dst. Nah, mending beli ukuran yang bervariasi, jangan beli ukuran newborn semua. Kenapa? Karena newborn itu cepat banget gedenya! Apalagi kalau bayinya gede kayak Rais. Waktu Rais baru satu bulan, dia sudah pakai baju ukuran 3-6 bulan. Alhasil banyak baju-baju newbornnya yang belum sempat dipakai tapi sudah kekecilan.

9. Sarung tangan (dalam jumlah yang banyak)
Dokter cuma merekomendasikan pakai sarung tangan sampai satu bulan karena bisa menghambat perkembangan motorik bayi.

1.1.15

The Birth of Little Captain

Sabtu, 16 Agustus 2014

Pagi
Pagi-pagi, saya berangkat ke RSIA Limijati sama Agam yang baru datang dari Jakarta, Mama, dan Papa. Kebetulan hari ini ada jadwal kontrol rutin sama obgyn saya, dr. Yena M Yuzar. 

Oh ya, HPL saya adalah tanggal 19 Agustus 2014. Jadi hari ini adalah H-3 HPL alias sudah mepet banget sama HPL. 

Siang
Walaupun datang pagi, saya baru dapat giliran siang menjelang sore. Maklum, dr. Yena adalah obgyn favorit di Bandung. Jadi kalau mau jadi pasien beliau harus siap antriannya panjang.

Begitu tiba giliran saya, seperti biasa, saya langsung tidur di ranjang dan di-USG. Alhamdulillah Little Captain sehat wal afiat. Posisi kepala memang sudah di bawah sejak awal trimester tiga. Nggak ada lilitan tali pusat. Pintar banget nih anak... *elus-elus perut* 

Tapi, karena usia kehamilan sudah tua, air ketuban saya sudah mulai berkurang dan plasenta sudah mulai mengapur. dr. Yena juga (lagi-lagi) mewanti-wanti saya soal berat janin yang overweight. Hehe... saya nggak tahan lihat ketupat dan kue Lebaran sih, dok...

dr. Yena pun merekomendasikan induksi. Dia bilang, persalinan normal memang bisa ditunggu sampai usia kehamilan 41 minggu atau 42 minggu, tapi terlalu riskan mengingat kondisi air ketuban dan plasenta.

Saya langsung galauuu kenapa mesti pakai induksi segala. Tapi, setelah diskusi panjang lebar, akhirnya disepakati: saya akan diinduksi besok siang. (Kenapa mesti besok siang, kenapa nggak hari ini atau lusa, saya lupa alasannya. :D)

Oh ya, sebelum pulang, saya sempat mampir ke Riau Junction buat ketemu sama sahabat saya sejak kuliah, Andin. Dia dulu melahirkan dibantu dr. Yena dengan cara induksi juga, jadi sekalian tanya-tanya.

Malam
Cek dan ricek tas yang mau dibawa ke rumah sakit. Untung saya sudah packing sejak dua minggu lalu.

***

Minggu, 17 Agustus 2014

01.00-02.00
Rasanya belum lama tertidur, saya sudah terbangun karena sakit perut luar biasa. Pernah merasakan sakit menjelang menstruasi? Kalikan sepuluh. Nah, kira-kira begitulah rasanya.

Agam mulai cemas. "Gimana kalau kita berangkat ke rumah sakit sekarang aja?"

"Ah paling juga kontraksi palsu lagi," kata saya. Dua minggu belakangan, saya memang cukup sering mengalami yang namanya Braxton Hicks alias kontraksi palsu.  "Berangkat ke rumah sakitnya nanti siang aja kayak rencana semula."

Tapi kontraksinya kok makin lama makin teratur ya. Lewat aplikasi Contraction Timer yang saya install di HP, terlihat jeda antar kontraksi sudah lima menit. 

04.00
Saya ke kamar mandi karena kebelet pipis. Waduh... yang keluar kok malah segumpal darah segar. OK, switch to plan B!

Saya dan Agam langsung membangunkan Mama dan Papa yang tidur di lantai atas, menyambar tas, dan berangkat ke rumah sakit. Oh ya, saya sempat makan roti dan minum teh manis panas dulu, walaupun akhirnya saya muntahkan sih.

05.00
Sampai RSIA Limijati. Langsung ke kamar bersalin di lantai 2 yang ternyata... rame banget kayak mall! Ternyata, karena hari ini tanggal cantik, jadi banyak bumil yang mau operasi caesar. Oalah... 

Gara-gara kamar bersalinnya penuh, saya cuma kebagian tempat darurat, yang sebenarnya cuma ranjang yang ditaruh di luar kamar bersalin dan ditutup tirai. Hiks... Tapi saya masih lebih beruntung karena banyak bumil lain yang nggak kebagian ranjang dan cuma bisa duduk di kursi ruang tunggu. 

Saya acung empat jempol deh buat suster-suster RSIA Limijati. Satu suster langsung sigap memasang alat tes CTG, satu suster menyuntik tangan kiri saya buat jaga-jaga kalau nanti harus diinfus, satu suster memasang gelang pasien di tangan kanan saya, dan satu suster lainnya periksa dalam.

"Bukaan dua," katanya.

Saya yang seminggu belakangan sering galau kok Little Captain nggak lahir-lahir langsung sumringah. Tegang juga sih, tapi masih lebih banyak excitednya. "Sebentar lagi kita ketemu ya, dek," kata saya sambil elus-elus perut.

Oh ya, suasana kamar bersalin jauh dari bayangan saya sebelumnya. Semua orang terlihat santai aja. Saya pun masih bisa ngobrol sama Agam dan Mama yang ganti-gantian memijat punggung dan kaki saya. Masih bisa whatsappan juga. 

Beruntung, dr. Yena kebetulan ada di rumah sakit karena ada jadwal operasi caesar bumil lain. Dia langsung datang untuk periksa dalam.

"Bukaan empat," katanya. dr. Yena sempat agak kaget melihat saya sudah di kamar bersalin dan sudah ada bukaan subuh-subuh, padahal saya baru dijadwalkan untuk diinduksi siang harinya.

Setelah itu saya sudah nggak sanggup lihat jam lagi
Soalnya... rasa sakitnya menjalar sampai ke seluruh tubuh! Betul kalau ada yang bilang karakter asli seseorang bakal keluar kalau mau melahirkan. Saya jadi keluar deh juteknya. Rasanya pingin marah sama Agam yang pijatannya nggak enak, pingin marah sama suster yang masang alat tes CTG yang berisik, pingin marah sama bumil lain yang ada di kamar bersalin (kan saya pinginnya saya yang di situ...). Pokoknya serumahsakit pingin saya terkam semua! 

Padahal saya rajin ikut senam hamil dan kelas hypnobirth, lho. Tapi kalau pas sakit kontraksi gitu mana ingat ya...

Untung setiap jeda antar kontraksi (yang makin lama makin sebentar) saya selalu ngantuk sampai ketiduran dan nggak ingat apa-apa lagi. Mungkin karena energi saya habis selama menahan sakit kontraksi ya. Jadilah kerjaan saya selama menunggu bukaan lengkap: marah-marah - ketiduran - marah-marah lagi - ketiduran lagi. Zzz...

Sampai di satu titik saya merasa nggak kuat lagi. "Sus, saya minta bius epidural dong. Nggak kuat sakitnya," rengek saya.
(Kalau ingat adegan itu sekarang jadi malu. Masa kalah sama Little Captain yang berusaha cari jalan keluar dari perut saya.)

Agam dan Mama nggak setuju. Soalnya, bius epidural mengandung resiko buat ibu maupun janin. Tapi karena saya rewel, akhirnya mereka mengalah juga. Suster datang bawa surat pernyataan yang harus ditandatangani pihak keluarga. Dari ranjang, saya lihat Agam menandatangani surat itu. "Sabar ya, Abang balikin surat ini dulu. Sebentar lagi dokter anestesinya datang buat nyuntik bius epidural," kata dia. Fiuuuh akhirnya...
(Belakangan, Agam ngaku kalau waktu itu dia nggak pernah menandatangani, apalagi mengembalikan surat itu. Dia cuma pura-pura biar saya tenang. Hih! Saya dibohongi!)

Bukaan enam...

Karena bukaan sudah mendekati lengkap, saya jalan pelan-pelan ke kamar bersalin. Kebetulan ada satu kamar yang sudah kosong.

Nggak lama setelah itu, kontraksi yang saya rasakan langsung hilang... karena diganti sama mulas! Dari berbagai literatur yang saya baca, kalau sudah terasa mulas dan ada dorongan buat mengejan, artinya bayi sudah mau keluar.

"Sus, kayaknya bayinya udah mau keluar nih. Coba periksa lagi."

"Tadi kan baru diperiksa masih bukaan enam bu. Nggak mungkin secepat itu nambah bukaannya. Tahan dulu ya jangan dulu ngeden."

Beberapa detik kemudian...

"Sus, ini saya nggak ngeden lho, tapi bayinya yang dorong. Coba periksa aja deh."

"Nggak boleh terlalu sering periksa dalam bu, takutnya infeksi."

AAARGH. Kalau boleh milih antara menahan sakit kontraksi sama menahan mengejan, saya lebih milih menahan sakit kontraksi deh. Saya sampai teriak-teriak nggak karuan di ranjang.

"Hus, malu ah. Lihat tuh yang lain nggak ada yang teriak-teriak," kata Mama.

Saya pun langsung mingkem. Hahaha!

Mungkin karena lihat ekspresi saya yang sudah nggak tahan mau mengejan, akhirnya suster periksa dalam juga.

"BUKAAN SEMBILAN!"

"Tuh kan bener!" kata saya dalam hati, emosi.

The next thing I knew, dr. Yena yang lagi menangani operasi caesar di kamar lain langsung lari-lari kecil masuk ke kamar saya. Sekitar tiga atau empat suster ambil posisi di sekeliling saya. Mama di sebelah kiri, Agam di sebelah kanan.

"Siap-siap ngeden ya," perintah dr. Yena.

And it just happened naturally. Saya ambil nafas panjaaang banget lalu menghembuskannya. Setelah itu rasanya plooong banget. 

"Dok, saya kehabisan tenaga nih. Bisa dibantu vakum nggak?"

"Lho, ini kepala bayinya udah keluar kok."

Apa? *langsung semangat mengejan lagi*

Tapi saking semangatnya malah salah mengejan. Belum tarik nafas malah sudah buang nafas hahaha... 

09.24
Akhirnya setelah mengejan untuk yang ketiga kalinya, there he is... My Little Captain was born. Alhamdulillah, proses melahirkan relatif lancar dan cepat. Bukaan lengkap hanya dalam waktu empat jam dan saya hanya mengejan tiga kali.







Raiszha Winayaka Ibrahim 
RSIA Limijati Bandung
Minggu 17 Agustus 2014 09.24
Berat 3,76 kg panjang 52 cm

Rais diambil dari bahasa Arab, artinya kapten. Bisa juga diartikan sebagai pemimpin. Ditambah -zha biar nggak pasaran aja.
Winayaka adalah nama lain Ganesha, dewa ilmu pengetahuan dalam mitologi Jawa kuno.
Ibrahim merupakan nama pemberian almarhum kakek buyutnya, diambil dari nama nabi yang menjadi ayah dan kakek bagi nabi-nabi yang turun setelahnya.

Semoga Little Captain bisa menjadi seperti namanya, pemimpin yang pintar dan jadi panutan, amin...

***


Setelah melahirkan, apa saya nangis? Nggak tuh! Saya malah sibuk mengamati bayi mungil yang ditaruh di dada saya untuk IMD, kulitnya kok keriput ya? Wajahnya mirip siapa ya?


Sayangnya, proses IMD nggak berhasil. Baru beberapa menit Little Captain merangkak di dada saya tapi belum sampai ke puting, dia sudah keburu diambil lagi untuk diobservasi. Skor Apgarnya 9 skala 10. 


Oh ya, selama IMD saya sambil dioperasi kuret karena ada bagian dinding rahim yang nggak ikut luruh, setelah itu saya dapat lima jahitan. Tapi nggak kerasa apa-apa tuh. Mungkin karena sudah merasakan yang jauh lebih sakit ya waktu kontraksi. Atau lebih tepatnya, karena tertutup oleh euforia bahagia.

Alhamdulillah. Alhamdulillah. Alhamdulillah.