12.1.15

Perlengkapan Bayi Yang Nggak Usah Dibeli

Tadinya pingin nulis perlengkapan bayi yang harus dibeli, tapi kayaknya tulisan serupa sudah banyak di mana-mana. Karena saya anti mainstream *halah* mending saya nulis perlengkapan bayi yang nggak usah dibeli!

Ngaku aja deh, salah satu hal paling menyenangkan waktu hamil adalah belanja perlengkapan bayi. Apalagi perlengkapan bayi zaman sekarang lucu-lucu ya. Siapa yang tahan godaan sih. Hihihi...

Tapi ternyata nggak semua perlengkapan bayi yang dijual di toko itu harus dibeli lho. Berdasarkan pengalaman saya, ada beberapa perlengkapan yang sudah terlanjur dibeli tapi nggak terpakai. 

(Disclaimer: List ini disusun berdasarkan pengalaman saya sendiri ya. Makanya, yang buat saya nggak penting, buat orang lain bisa jadi penting. Dan list ini hanya buat newborn. Buat bayi yang sudah makan dan jalan lain lagi ceritanya.)

1. Box bayi dan meja ganti popok
Kalau ini sih karena nggak ada uang tempat di apartemen nan mungil. Sejak awal saya memang pingin co-sleeping. Asyik lho tidur kelonan bertiga, sebelum tidur bisa peluk-peluk dan cium-cium Rais dulu. Kalau dia haus tengah malam, tinggal buka kancing piyama deh. Nggak perlu jalan ke box bayi buat menyusui. Co-sleeping beresiko memicu SIDS? Insya Allah enggak ya selama orangtuanya tidurnya nggak lasak dan di kasur nggak terlalu banyak bantal guling. Ganti popok? Duh... itu kan bisa di mana aja nggak perlu meja khusus.

2. Popok kain
Gara-gara parno Rais kena diaper rash, sebelum dia lahir, saya sudah nyetok popok kain dua lusin. Tapi ternyata suster di rumah sakit malah memakaikan pospak. Dokter pun ngasih lampu hijau untuk pakai pospak. Memang sih, popok kain lebih efektif buat mantau bayi cukup minum ASI atau nggak. Tapi pospak juga bisa kok asal sering diganti. Lagipula, setelah melahirkan saya langsung repot sama masalah menyusui. Mana sanggup kalau harus ganti (plus nyuci dan jemur!) popok kain setiap Rais pipis. Pospak to the rescue!

3. Bedong instan
Rais cuma mau dibedong sampai umur seminggu. Untung saya nggak tergoda beli bedong instan. Lebih baik beli bedong yang berupa kain biasa aja. Setelah bayi nggak mau dibedong lagi kan masih bisa dipakai sebagai selimut, alas tidur, alas stroller, dll.

4. Gurita
Dokter nggak merekomendasikan pakai gurita. Untung saya nggak tergoda beli gurita juga.

5. Sepatu newborn
Sampai sekarang Rais nggak pernah saya pakaikan sepatu lagi karena sering copot dan jatuh. Apalagi kalau mau ganti popok. Hih, ribet! Mending beli kaos kaki yang lucu-lucu deh. Toh dia memang belum butuh sepatu karena belum bisa jalan.

6. Bantal menyusui
Ini penting nggak penting sih, soalnya bantal apapun bisa dijadikan alas buat menyusui, walaupun bantal khusus menyusui jelas lebih nyaman.

7. Breast pad
ASI saya nggak sebanyak itu sampai butuh breast pad :((. Kadang sampai merembes ke baju juga sih, terutama kalau malam. Tapi kalau pakai breast pad artinya kalau mau menyusui tengah malam harus buka breast pad dulu. Ribet.

8. Baju newborn (dalam jumlah yang banyak)
FYI, ukuran baju bayi biasanya 0-3 bulan, 3-6 bulan, 6-9 bulan, 9-12 bulan, dst. Walaupun ada juga yang 0-6 bulan, 6-12 bulan, dst. Nah, mending beli ukuran yang bervariasi, jangan beli ukuran newborn semua. Kenapa? Karena newborn itu cepat banget gedenya! Apalagi kalau bayinya gede kayak Rais. Waktu Rais baru satu bulan, dia sudah pakai baju ukuran 3-6 bulan. Alhasil banyak baju-baju newbornnya yang belum sempat dipakai tapi sudah kekecilan.

9. Sarung tangan (dalam jumlah yang banyak)
Dokter cuma merekomendasikan pakai sarung tangan sampai satu bulan karena bisa menghambat perkembangan motorik bayi.

1.1.15

The Birth of Little Captain

Sabtu, 16 Agustus 2014

Pagi
Pagi-pagi, saya berangkat ke RSIA Limijati sama Agam yang baru datang dari Jakarta, Mama, dan Papa. Kebetulan hari ini ada jadwal kontrol rutin sama obgyn saya, dr. Yena M Yuzar. 

Oh ya, HPL saya adalah tanggal 19 Agustus 2014. Jadi hari ini adalah H-3 HPL alias sudah mepet banget sama HPL. 

Siang
Walaupun datang pagi, saya baru dapat giliran siang menjelang sore. Maklum, dr. Yena adalah obgyn favorit di Bandung. Jadi kalau mau jadi pasien beliau harus siap antriannya panjang.

Begitu tiba giliran saya, seperti biasa, saya langsung tidur di ranjang dan di-USG. Alhamdulillah Little Captain sehat wal afiat. Posisi kepala memang sudah di bawah sejak awal trimester tiga. Nggak ada lilitan tali pusat. Pintar banget nih anak... *elus-elus perut* 

Tapi, karena usia kehamilan sudah tua, air ketuban saya sudah mulai berkurang dan plasenta sudah mulai mengapur. dr. Yena juga (lagi-lagi) mewanti-wanti saya soal berat janin yang overweight. Hehe... saya nggak tahan lihat ketupat dan kue Lebaran sih, dok...

dr. Yena pun merekomendasikan induksi. Dia bilang, persalinan normal memang bisa ditunggu sampai usia kehamilan 41 minggu atau 42 minggu, tapi terlalu riskan mengingat kondisi air ketuban dan plasenta.

Saya langsung galauuu kenapa mesti pakai induksi segala. Tapi, setelah diskusi panjang lebar, akhirnya disepakati: saya akan diinduksi besok siang. (Kenapa mesti besok siang, kenapa nggak hari ini atau lusa, saya lupa alasannya. :D)

Oh ya, sebelum pulang, saya sempat mampir ke Riau Junction buat ketemu sama sahabat saya sejak kuliah, Andin. Dia dulu melahirkan dibantu dr. Yena dengan cara induksi juga, jadi sekalian tanya-tanya.

Malam
Cek dan ricek tas yang mau dibawa ke rumah sakit. Untung saya sudah packing sejak dua minggu lalu.

***

Minggu, 17 Agustus 2014

01.00-02.00
Rasanya belum lama tertidur, saya sudah terbangun karena sakit perut luar biasa. Pernah merasakan sakit menjelang menstruasi? Kalikan sepuluh. Nah, kira-kira begitulah rasanya.

Agam mulai cemas. "Gimana kalau kita berangkat ke rumah sakit sekarang aja?"

"Ah paling juga kontraksi palsu lagi," kata saya. Dua minggu belakangan, saya memang cukup sering mengalami yang namanya Braxton Hicks alias kontraksi palsu.  "Berangkat ke rumah sakitnya nanti siang aja kayak rencana semula."

Tapi kontraksinya kok makin lama makin teratur ya. Lewat aplikasi Contraction Timer yang saya install di HP, terlihat jeda antar kontraksi sudah lima menit. 

04.00
Saya ke kamar mandi karena kebelet pipis. Waduh... yang keluar kok malah segumpal darah segar. OK, switch to plan B!

Saya dan Agam langsung membangunkan Mama dan Papa yang tidur di lantai atas, menyambar tas, dan berangkat ke rumah sakit. Oh ya, saya sempat makan roti dan minum teh manis panas dulu, walaupun akhirnya saya muntahkan sih.

05.00
Sampai RSIA Limijati. Langsung ke kamar bersalin di lantai 2 yang ternyata... rame banget kayak mall! Ternyata, karena hari ini tanggal cantik, jadi banyak bumil yang mau operasi caesar. Oalah... 

Gara-gara kamar bersalinnya penuh, saya cuma kebagian tempat darurat, yang sebenarnya cuma ranjang yang ditaruh di luar kamar bersalin dan ditutup tirai. Hiks... Tapi saya masih lebih beruntung karena banyak bumil lain yang nggak kebagian ranjang dan cuma bisa duduk di kursi ruang tunggu. 

Saya acung empat jempol deh buat suster-suster RSIA Limijati. Satu suster langsung sigap memasang alat tes CTG, satu suster menyuntik tangan kiri saya buat jaga-jaga kalau nanti harus diinfus, satu suster memasang gelang pasien di tangan kanan saya, dan satu suster lainnya periksa dalam.

"Bukaan dua," katanya.

Saya yang seminggu belakangan sering galau kok Little Captain nggak lahir-lahir langsung sumringah. Tegang juga sih, tapi masih lebih banyak excitednya. "Sebentar lagi kita ketemu ya, dek," kata saya sambil elus-elus perut.

Oh ya, suasana kamar bersalin jauh dari bayangan saya sebelumnya. Semua orang terlihat santai aja. Saya pun masih bisa ngobrol sama Agam dan Mama yang ganti-gantian memijat punggung dan kaki saya. Masih bisa whatsappan juga. 

Beruntung, dr. Yena kebetulan ada di rumah sakit karena ada jadwal operasi caesar bumil lain. Dia langsung datang untuk periksa dalam.

"Bukaan empat," katanya. dr. Yena sempat agak kaget melihat saya sudah di kamar bersalin dan sudah ada bukaan subuh-subuh, padahal saya baru dijadwalkan untuk diinduksi siang harinya.

Setelah itu saya sudah nggak sanggup lihat jam lagi
Soalnya... rasa sakitnya menjalar sampai ke seluruh tubuh! Betul kalau ada yang bilang karakter asli seseorang bakal keluar kalau mau melahirkan. Saya jadi keluar deh juteknya. Rasanya pingin marah sama Agam yang pijatannya nggak enak, pingin marah sama suster yang masang alat tes CTG yang berisik, pingin marah sama bumil lain yang ada di kamar bersalin (kan saya pinginnya saya yang di situ...). Pokoknya serumahsakit pingin saya terkam semua! 

Padahal saya rajin ikut senam hamil dan kelas hypnobirth, lho. Tapi kalau pas sakit kontraksi gitu mana ingat ya...

Untung setiap jeda antar kontraksi (yang makin lama makin sebentar) saya selalu ngantuk sampai ketiduran dan nggak ingat apa-apa lagi. Mungkin karena energi saya habis selama menahan sakit kontraksi ya. Jadilah kerjaan saya selama menunggu bukaan lengkap: marah-marah - ketiduran - marah-marah lagi - ketiduran lagi. Zzz...

Sampai di satu titik saya merasa nggak kuat lagi. "Sus, saya minta bius epidural dong. Nggak kuat sakitnya," rengek saya.
(Kalau ingat adegan itu sekarang jadi malu. Masa kalah sama Little Captain yang berusaha cari jalan keluar dari perut saya.)

Agam dan Mama nggak setuju. Soalnya, bius epidural mengandung resiko buat ibu maupun janin. Tapi karena saya rewel, akhirnya mereka mengalah juga. Suster datang bawa surat pernyataan yang harus ditandatangani pihak keluarga. Dari ranjang, saya lihat Agam menandatangani surat itu. "Sabar ya, Abang balikin surat ini dulu. Sebentar lagi dokter anestesinya datang buat nyuntik bius epidural," kata dia. Fiuuuh akhirnya...
(Belakangan, Agam ngaku kalau waktu itu dia nggak pernah menandatangani, apalagi mengembalikan surat itu. Dia cuma pura-pura biar saya tenang. Hih! Saya dibohongi!)

Bukaan enam...

Karena bukaan sudah mendekati lengkap, saya jalan pelan-pelan ke kamar bersalin. Kebetulan ada satu kamar yang sudah kosong.

Nggak lama setelah itu, kontraksi yang saya rasakan langsung hilang... karena diganti sama mulas! Dari berbagai literatur yang saya baca, kalau sudah terasa mulas dan ada dorongan buat mengejan, artinya bayi sudah mau keluar.

"Sus, kayaknya bayinya udah mau keluar nih. Coba periksa lagi."

"Tadi kan baru diperiksa masih bukaan enam bu. Nggak mungkin secepat itu nambah bukaannya. Tahan dulu ya jangan dulu ngeden."

Beberapa detik kemudian...

"Sus, ini saya nggak ngeden lho, tapi bayinya yang dorong. Coba periksa aja deh."

"Nggak boleh terlalu sering periksa dalam bu, takutnya infeksi."

AAARGH. Kalau boleh milih antara menahan sakit kontraksi sama menahan mengejan, saya lebih milih menahan sakit kontraksi deh. Saya sampai teriak-teriak nggak karuan di ranjang.

"Hus, malu ah. Lihat tuh yang lain nggak ada yang teriak-teriak," kata Mama.

Saya pun langsung mingkem. Hahaha!

Mungkin karena lihat ekspresi saya yang sudah nggak tahan mau mengejan, akhirnya suster periksa dalam juga.

"BUKAAN SEMBILAN!"

"Tuh kan bener!" kata saya dalam hati, emosi.

The next thing I knew, dr. Yena yang lagi menangani operasi caesar di kamar lain langsung lari-lari kecil masuk ke kamar saya. Sekitar tiga atau empat suster ambil posisi di sekeliling saya. Mama di sebelah kiri, Agam di sebelah kanan.

"Siap-siap ngeden ya," perintah dr. Yena.

And it just happened naturally. Saya ambil nafas panjaaang banget lalu menghembuskannya. Setelah itu rasanya plooong banget. 

"Dok, saya kehabisan tenaga nih. Bisa dibantu vakum nggak?"

"Lho, ini kepala bayinya udah keluar kok."

Apa? *langsung semangat mengejan lagi*

Tapi saking semangatnya malah salah mengejan. Belum tarik nafas malah sudah buang nafas hahaha... 

09.24
Akhirnya setelah mengejan untuk yang ketiga kalinya, there he is... My Little Captain was born. Alhamdulillah, proses melahirkan relatif lancar dan cepat. Bukaan lengkap hanya dalam waktu empat jam dan saya hanya mengejan tiga kali.







Raiszha Winayaka Ibrahim 
RSIA Limijati Bandung
Minggu 17 Agustus 2014 09.24
Berat 3,76 kg panjang 52 cm

Rais diambil dari bahasa Arab, artinya kapten. Bisa juga diartikan sebagai pemimpin. Ditambah -zha biar nggak pasaran aja.
Winayaka adalah nama lain Ganesha, dewa ilmu pengetahuan dalam mitologi Jawa kuno.
Ibrahim merupakan nama pemberian almarhum kakek buyutnya, diambil dari nama nabi yang menjadi ayah dan kakek bagi nabi-nabi yang turun setelahnya.

Semoga Little Captain bisa menjadi seperti namanya, pemimpin yang pintar dan jadi panutan, amin...

***


Setelah melahirkan, apa saya nangis? Nggak tuh! Saya malah sibuk mengamati bayi mungil yang ditaruh di dada saya untuk IMD, kulitnya kok keriput ya? Wajahnya mirip siapa ya?


Sayangnya, proses IMD nggak berhasil. Baru beberapa menit Little Captain merangkak di dada saya tapi belum sampai ke puting, dia sudah keburu diambil lagi untuk diobservasi. Skor Apgarnya 9 skala 10. 


Oh ya, selama IMD saya sambil dioperasi kuret karena ada bagian dinding rahim yang nggak ikut luruh, setelah itu saya dapat lima jahitan. Tapi nggak kerasa apa-apa tuh. Mungkin karena sudah merasakan yang jauh lebih sakit ya waktu kontraksi. Atau lebih tepatnya, karena tertutup oleh euforia bahagia.

Alhamdulillah. Alhamdulillah. Alhamdulillah. 

Welcome!

Berawal dari hobi saya blogwalking sejak jadi bumil dan sekarang jadi busui, saya jadi pingin mulai ngeblog lagi. Tapi, blog lama saya rasanya sudah nggak relevan lagi. Selain karena blog itu sudah terbengkalai empat tahun lamanya, isinya pun kebanyakan curhatan waktu jadi mahasiswa dan fresh graduate. 

So, why not making a brand new blog?

Blog ini temanya anak dan keluarga, jadi isinya nggak jauh-jauh dari resep MPASI atau review playground. (Lalu pembaca yang lajang dan punya kehidupan sosial jauh lebih seru langsung close tab hahaha...)

Welcome to The A&A Family!