2.11.15

Tentang Pertemanan Sebelum dan Sesudah Jadi Ibu



Mungkin nggak sih, orang yang sudah menikah dan punya anak kesepian? Jawabannya sangat mungkin. Saya mengetik ini karena tiba-tiba kesepian tengah malam, padahal di samping saya ada Agam dan Rais yang lagi ngorok. Zzz... Saking kesepiannya sampai tiba-tiba pingin ngeblog lagi padahal blog ini sudah lama banget nggak keurus. Emang nggak bakat jadi selebblog nih. 



Ya, saya seorang istri dan ibu, dan saya sangat mencintai peran itu. Tapi saya juga seorang makhluk sosial yang perlu bersosialisasi.

Di antara sahabat-sahabat saya sejak kuliah, saya yang kelima menikah. Sekarang di antara kami bersepuluh sudah sembilan orang yang menikah dan delapan orang yang punya anak.

Kami tentu saja masih keep in touch, online maupun offline. Bedanya, topik di group whatsapp bukan lagi soal siapa yang baru jadian atau baru putus, tapi merek breastpump yang bagus dan tips menghadapi anak tantrum. Bedanya, agenda ketemuan bukan lagi sleepover sambil curhat semalaman atau ngopi cantik setelah pulang kerja, tapi arisan di akhir pekan di cafe yang ada playgroundnya. Ah... I don't know what I'd be without you, girls... 

Tapi di circle saya yang lain, yang isinya teman-teman seprofesi yaitu wartawan, menikah di usia kepala 2 lalu langsung punya anak sepertinya bukan pilihan populer.

Maka saya nggak bisa menghindar dari rasa kesepian kalau (lagi-lagi) mesti menolak ajakan nongkrong bareng habis liputan, atau kalau lihat foto mereka backpacking rame-rame di medsos. You know, the feeling of being so left out. Makanya saya sekarang menonaktifkan Twitter dan Path. Instagram lebih sering saya pakai buat belanja online (belanja baju dan perlengkapan bayi lah, apa lagi?). Facecook sih memang sudah lama saya nonaktifkan. Buat apa punya medsos, toh jarang ada mention dan ngetag saya. 

Nggak ada yang salah. Teman-teman saya nggak salah. People just change.

Dulu, saya menganggap menikah dan punya anak = nggak asyik. Nggak bebas nongkrong bareng teman-teman lagi. Nggak bebas kelayapan dulu setelah pulang kerja. Siapa sangka, bertahun-tahun kemudian saya dengan senang hati lebih memilih untuk pulang kerja cepat-cepat demi quality time sama Agam dan Rais.

Bukannya saya nggak mau nongkrong bareng teman-teman lagi ya, tapi waktunya susah ciiin... Apalagi buat saya yang nggak punya asisten rumah tangga dan baby sitter. Jangankan nongkrong, kerja aja penuh perhitungan harus selesai jam berapa, harus pulang jam berapa supaya nggak kejebak macet, harus sampai apartemen jam berapa supaya bisa mompa ASI dulu. Bisa sih nongkrong dulu habis kerja, tapi rencananya harus dari jauh-jauh hari biar saya bisa bagi tugas jemput Rais sama Agam, atau titip Rais ke pengasuh daycarenya.

Nongkrong pas weekend? Boleh... Tapi jamnya harus pas sama jam tidur siangnya Rais ya. Soalnya dia cranky kalau ngantuk. Lalu tempatnya juga harus baby friendly. Cafe yang terlalu berisik dan banyak asap rokok is big no! 

.

.
.

Lalu teman-teman jadi malas ngajak saya karena banyak syaratnya. :))