26.3.15

Plus Minus Menitipkan Anak di Daycare (1)

Bulan ini genap dua bulan saya nggak pakai baby sitter (BS) lagi. Berarti, bulan ini genap dua bulan juga Rais 'sekolah' di daycare.


Hari pertama Rais di daycare

Saya ingat sekali, Rais masuk daycare di usia lima bulan kurang satu hari. Gimana rasanya meninggalkan anak di daycare? Awalnya sih, saya nangis bombay semalaman. Saya bahkan bela-belain izin kerja dari rumah selama seminggu pertama biar bisa menengok Rais di daycare setiap tiga jam sekali.

Tapi sekarang saya sudah terbiasa. Apalagi saya sudah lumayan akrab sama pemilik dan pengasuh-pengasuh di daycare. Kadang mereka mengirim foto Rais kalau saya lagi kerja.

Sampai sekarang daycare masih jadi pilihan terbaik buat saya dan Agam. Kenapa? Coba kita bahas satu per satu plus minusnya...

PLUS
1. Lebih aman
Buat saya dan Agam yang tinggal di apartemen dan jauh dari keluarga, menitipkan anak di daycare jelas lebih aman ketimbang BS. Siapa yang tahu apa yang terjadi kalau anak cuma berdua sama BS di dalam apartemen? (Kecuali kalau pasang CCTV dan baby monitor ya. Tapi masa sih saya harus memantau alat terus selama kerja). Sedangkan kalau di daycare, pengasuhnya kan banyak. Kemungkinan pengasuh bakal 'macam-macam' pun lebih minim. Apalagi pemilik daycarenya Rais juga selalu ada di tempat dan selalu turun tangan momong bayi-bayi.

2. Anak lebih mandiri 
Waktu masih ada BS, Rais tuh... hmmm... gimana ya... (mau bilang rewel tapi nggak tega). Baru beberapa hari di daycare, eh dia sudah bisa anteng main dan tidur sendiri. Soalnya, anak di daycare memang dilatih untuk mandiri dengan cara nggak terus-terusan digendong. 

3. Anak gampang bersosialisasi
Rais termasuk bayi yang gampang bersosialisasi karena terbiasa ketemu puluhan orang setiap harinya. Mulai dari teman-temannya, orangtua yang antar jemput teman-temannya, pemilik daycare, pengasuh-pengasuh daycare, sampai cleaning service dan security daycare. Dampaknya, dia santai aja kalau ketemu orang baru, bahkan sering senyum duluan.

4. Orangtua lebih dekat sama anak
Nggak rela kan kalau anak lebih dekat sama BS? Kalau anak di daycare, itu nggak akan terjadi. Soalnya anak cuma di daycare beberapa jam dalam sehari. Paginya, malamnya, dan selama weekend sama orangtuanya lagi. Gimana nggak dekat kalau pipis aja sambil mangku anak dan beres-beres rumah aja sambil gendong anak pakai baby carrier. :)) Sama pengasuh di daycare pun nggak akan terlalu ketergantungan karena pengasuhnya kan lebih dari satu, nggak yang itu-itu aja.

5. No drama BS
Percayalah, punya BS tuh berasa punya satu anak lagi selain anak sendiri. Harus menyediakan makan tiga kali sehari, harus memastikan kebutuhan pribadinya seperti toiletries tersedia, dan harus menanggung kalau dia sakit. Bukan cuma masalah uangnya, tapi kadang malas juga kan pas buru-buru mau berangkat kerja, eh harus beli sarapan dulu buat BS. Atau pas saya sakit, eh BS juga sakit dan saya harus mencarikan obat buat dia.

6. Ada privasi
Saya dan Agam tinggal di apartemen mungil, tentu risih kalau serumah sama orang yang bukan keluarga. Jadi nggak bisa pakai underwear doang dong kalau di rumah. *eh

7. Pengasuh lebih profesional
Menurut penilaian saya, pengasuh daycare Rais lebih profesional dan lebih sopan daripada kebanyakan BS yang pernah saya temui. Mungkin karena pemilik daycare selalu ada di tempat dan memantau pekerjaan mereka, beda sama pemilik yayasan yang biasanya lepas tangan kalau BS sudah tersalurkan. Pengasuh daycare Rais juga selalu pakai seragam rapih seperti ibu guru di sekolah (anak-anak daycare yang sudah lebih besar dan sudah bisa ngomong memang memanggil pengasuh dengan sebutan "bu guru, bukan "sus" atau "mbak"). Kalau ada masalah sama pengasuh (alhamdulillah belum pernah terjadi), saya bisa lapor ke pemilik daycare. Dulu, waktu masih punya BS, saya cenderung tutup mata aja kalau ada masalah karena takut dia nggak betah.

MINUS
1. Resiko anak ketularan sakit lebih besar
Belum ada seminggu Rais di daycare, dia langsung kena batuk pilek. Besoknya saya bawa ke dokter, sembuh, lalu saya masukkan daycare lagi, eh kena lagi. Dalam dua bulan ini dia sudah tiga-empat kali kena batuk pilek, padahal sebelumnya nggak pernah sakit apapun. T___T

2. Waktu untuk kerja nggak fleksibel
Buat saya dan Agam yang jam kerjanya nggak office hour, jemput Rais di daycare sebelum jam 6 sore itu butuh perjuangan! Banget! Apalagi macetnya Jakarta amit-amit ya. Belum lagi kalau dapat tugas dinas ke luar kota. Solusinya, sejak awal saya sudah menceritakan kondisi saya ke atasan, biar saya nggak dapat tugas tambahan mendadak di atas jam 6 sore dan nggak dapat tugas dinas ke luar kota mendadak. Alhamdulillah atasan saya mau mengerti. Tapi sebagian rekan kerja saya (yang belum menikah dan punya anak) yang nggak mengerti. Siap-siap aja deh jadi bahan gosip di belakang.

3. Do it yourself
Kalau memutuskan untuk nggak pakai BS, berarti harus siap untuk mengerjakan semuanya sendiri (in my case, berdua sama Agam). Bukan hanya yang bersentuhan langsung sama anak seperti memandikan, menyuapi, dan meninabobokan, tapi juga printilannya seperti memasak MPASI, mencuci dan mensterilkan botolnya, dan mencuci bajunya yang kena pup. Tapi, karena anak sendiri, enjoy aja tuh walaupun harus bangun jam 4 subuh setiap hari buat masak MPASI.

4. Harus kompromi sama daycare
Soalnya daycare punya jadwal, peraturan, dan standar sendiri. Contohnya, kalau saya mengantarkan Rais kesiangan, maka dia akan makan sendirian karena jadwal makan teman-temannya sudah lewat. Contoh lainnya, saya terbiasa memakaikan Rais bedak bayi setiap habis mandi, tapi daycare malarang pemakaian bedak. Standar kebersihan dan kerapihan daycare juga sedikit di bawah standar saya. *control freak detected* Tapi selama daycare masih bisa mengakomodasi keinginan orangtua yang prinsipil, misalnya mau ASI eksklusif, saya berusaha kompromi aja.

5. Gonta-ganti pengasuh
Walaupun anak jadi nggak ketergantungan sama satu pengasuh, tapi saya harus membriefing pengasuh yang beda hampir setiap pagi. Mulai dari menjelaskan menu MPASI Rais hari ini sampai mengingatkan untuk memakaikan Rais selimut karena dia alergi dingin.

So... plus 7 vs minus 5. Daycare FTW!

Oh ya, saya sengaja nggak memasukkan poin soal biaya, karena menurut saya itu sangat relatif. BS berpengalaman dibanding daycare yang biasa-biasa aja jelas mahalan BS. Daycare di daerah perkantoran di segitiga emas Jakarta dibanding BS yang masih ABG jelas mahalan daycare.

Sebagai ilustrasi, waktu saya ambil BS berpengalaman dari yayasan di Bandung bulan Agustus 2014, gaji pokoknya Rp 2 juta per bulan. Dengan gaji segitu, dia dapat jatah libur dua hari per bulan, yang mana kalau nggak diambil dihitung lembur dengan uang lembur Rp 100.000 per hari. Jadi take home paynya Rp 2,2 juta per bulan.

Waktu dibawa ke Jakarta bulan November 2014, BS minta naik gaji pokok jadi Rp 3 juta per bulan dengan hitung-hitungan lembur yang sama. Jadi take home paynya Rp 3,2 juta per bulan.

Karena saya dan Agam risih kalau BS menginap di apartemen, kami sewakan kos dekat apartemen yang tarifnya Rp 550.000 per bulan. Sebenarnya kosnya masih terjangkau jalan kaki, tapi dia maunya naik angkot. Okelah saya kasih ongkos PP Rp 4.000 per hari.

Itu belum termasuk biaya makan tiga kali per hari, snack, toiletries, dan biaya dokter atau obat kalau dia sakit. Masih ada biaya tambahan yang harus keluar kalau mau BS betah, misalnya buat mengajak jalan-jalan atau membelikan baju sesekali.

Nah, waktu Rais masuk daycare bulan Januari 2015, uang pangkalnya Rp 1,5 juta dan uang bulanannya Rp 2 juta per bulan. Biaya overtime kalau telat jemput Rp 10.000 per jam.

Karena lokasi daycare masih satu kompleks apartemen cuma beda tower, saya nggak usah mengeluarkan biaya transportasi. Pengeluaran tambahan paling-paling kalau saya harus pulang naik ojek/taksi supaya bisa jemput Rais on time.

Terus, kalau belanja perlengkapan makan, perlengkapan tidur, dan toiletries harus dobel. Yang satu buat di rumah, yang satu lagi buat di daycare.


Rais dan teman-teman daycarenya